Jumat, 23 Juli 2010

Kisah Jilbab Hacer dan Zeliha

Dua mahasiswi dari Istanbul ini, Zeliha Odabas dan Hacer Cavus, sedih karena harus melepas jilbab setiap kali masuk kuliah. Jilbab memang pakaian terlarang di di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Republik Turki sekular.

''Rasanya seperti kepala saya disiram air panas,'' tutur Zeliha. Mereka minta didoakan agar suatu saat Muslimah Turki bebas menutup aurat seperti saudari-saudari mereka di Indonesia.

Turki masih tetap menyulitkan wanita-wanita yang ingin melaksanakan perintah Allah Ta'ala untuk menutup aurat. Presidennya sudah baru, bernama Abdullah Gul dan berasal dari Partai Keadilan dan Pembangunan pula. Istri Presiden bernama Khairunnisa Gul dan juga berjilbab.

Namun Muslimah-muslimah yang ingin berjilbab harus ''bongkar-pasang'' kerudung mereka bila hendak masuk sekolah, pergi kuliah atau masuk kantor. Hacer dan Zeliha adalah dua diantara ribuan mahasiswi yang harus melepas jilbabnya jika hendak memasuki kampus mereka di Fakultas Psikologi Fatih University, Istanbul.

Hacer (ejaan Turki untuk Hajar) dan Zeliha mulai mengenakan kerudung saat mereka berumur 14 tahun di Sekolah Menengah. Mereka kini berusia 19 tahun.

''Kakak saya yang mendorong saya melaksanakan perintah agama ini. Tapi saya ikhlas melaksanakannya. Pada tahun pertama, saya mengenakan hijab 'begitu-begitu' saja, tapi pada tahu kedua saya betul-betul sadar dan mempelajari ketentuan Allah ini. Kakak saya yang menunjukkan ayat Al Quran tentang berhijab ini. Saya merasa mudah saja mengerjakannya dan menyesuaikan diri dengan pakaian baru ini karena keluarga saya mendukung,'' cerita Hacer yang saat jumpa kami mengenakan kerudung berwarna ungu tua dan mantel musim dingin ungu muda.

Zeliha yang berkerudung merah menyala seperti bendera Turki dan bermantel wool putih mengiyakan. ''Semuanya bermula karena saya membaca Al-Qur'an terjemahan bahasa Turki, mulai dari awal, Surah Al Fatihah, sampai Surah An-Nur dan saya menemukan ayat yang memerintahkan berhijab. Begitu membacanya, saya fikir ' Oops… Kalau memang ini perintah Allah dan tertulis dalam Al Quran, berarti saya harus melaksanakannya,”kisahnya.

Tidak ada orang yang menyuruhnya. Beberapa hari kemudian, ia pergi ke pasar dan membeli kerudung berwarna biru, yang sama dengan warna seragam sekolah. Ia mulai mengenakannya. Ibunya sangat terkejut karena tidak pernah menyuruh atau memaksa. Ayahya bilang begini, “Kalau kamu mengenakan ini maka kamu harus juga melaksanakan semua yang diperintah Allah.” Jadi memang memakai jilbab penting, “tapi yang juga penting adalah perubahan dalam diri kita. Saya harus mulai berfikir secara Islami.''

Kedua gadis ini menyadari bahwa mereka berada dalam masyarakat yang tidak mementingkan menutup aurat. Sembilan puluh persen penduduk Turki mengaku Muslim tapi tidak banyak yang menutup aurat, tutur Zeliha. Namun baik Hacer maupun Zeliha tidak takut pada kemungkinan masalah yang timbul. ''Karena hati saya tenang, saya merasa mudah saja melaksanakannya,'' kata Hacer.

''Saya tidak memikirkan masalah yangt timbul, karena bagi saya yang terpenting itu peraturan Allah. Dengan iman, kita bisa melakukan apa saja.” Dalam banyak hal keduanya mengaku belum sempurna melaksanakan Islam, tapi mereka bersyukur bisa melaksanakan dengan baik. Meskipun Turki negara sekular, tidak ada orang yang mengganggu mereka di jalan-jalan karena mereka berhijab.

Kedua gadis ini terpaksa ''bongkar-pasang'' alias menutup aurat di luar kampus dan membukanya begitu berada di depan pagar kampus. Ada larangan keras memakai jilbab di sekolah. Ancamannya dikeluarkan atau entah apa, meski sebenarnya tidak ada undang-undang yang resmi melarang hijab. “Hati saya merasa berat sekali. Karena ini masalah penting. Saya jadi susah berkonsentrasi waktu masih di SMA,'' tutur Hacer.

Untunglah mereka punya kegiatan pengajian sepekan sekali; pada saat-saat itulah para Muslimah berhijab di Istanbul saling mendorong dan membantu meringankan kesedihan karena harus ''bongkar pasang'' kerudung.

''Setiap kali harus melepas jilbab, saya sedih sekali dan kepala saya rasanya seperti disiram orang dengan air panas,'' tutur Zeliha.

Beberapa waktu lalu kedua gadis itu ''melawan'' dengan cara melepas kerudung namun memakai topi yang rapat-rapat menutup rambut mereka. ''Harus diakui, masyarakat dunia, juga Turki, memang masih menindas kaum wanita. Misalnya ya dalam soal berjilbab ini,'' kata Zeliha yang memiliki satu orang kakak perempuan yang tidak berjilbab ini.

Baik Hacer maupun Zeliha optimis bahwa suatu saat nanti insya Allah tidak akan ada lagi kesulitan dan larangan berjilbab bagi para Muslimah di Turki. ''Sampaikan salam kami kepada saudari-saudari kami di Indonesia, dan mintakan doa mereka agar Allah menolong kami di Turki,'' kata Zeliha.

''Doakan agar Presiden Abdullah Gul dan Perdana Menteri Erdogan mau dan bisa melakukan sesuatu untuk menolong kami Muslimah yang berhijab di Turki. Namun kami tidak tinggal diam. Kami berdakwah dengan menceritakan kepada sebanyak mungkin orang tentang indahnya Islam dan indahnya berjilbab. Kami punya sesuatu yang indah, kami tidak boleh mementingkan diri sendiri. Kami harus bagikan kepada orang lain,'' tutur Hacer.

Zeliha beranggapan, pada waktunya, dengan pendidikan, akan semakin banyak Muslimah di Turki yang 'bebas' dari kungkungan masyarakat dalam melaksanakan perintah Allah Ta'ala.

Menurut Zeliha, Turki butuh wanita-wanita berprestasi, yang menjadi dokter, pengacara dan sebagainya, namun tetap melaksanakan perintah Allah mengenai berhijab. “Kalau sudah demikian, mau tidak mau, masyarakat akan mendengarkan apa yang kami sampaikan mengenai Islam,” katanya menutup obrolan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar